Jumat, 18 April 2014

Suatu hari ada caleg (Calon anggota legislatif) dari salah satu partai politik peserta pemilu. Caleg ini sampai di Pekalongan setelah menempuh perjalanan tak kurang dari 4 jam. Meskipun Maulana Habib Lutfi membuka pintu rumahnya selama 24 jam dalam setahun penuh, bisa bertemu beliau langsung setelah menginjakan kaki dirumah beliau bukanlah tetaplah bukan hal mudah, karena kesibukan beliau yang teramat padat. Caleg ini diantar oleh Habib Muda dikampungnya. Setelah basa-basi keduanya bergantian mengutarakan maksud kedatangannya itu. “Habib, saya tahun lalu membantu mencairkan dana dari pusat untuk kabupaten ‘A’, waktu itu Bupati menjangjikan saya prosentase ‘sekian’ prosen. Tapi hingga kini ia belum menempati jangjinya secara penuh, saya baru dikasih Rp. 50 juta.
Sekarang saya lagi butuh buat kampanye sebagai caleg. Dana itu bisa cair karena saya kenal baik dengan orang pusat dari partai ‘A’. Demikian pak Caleg, bercerita panjang lebah tanpa merasa ada yang salah dengan apa yang disampaikannya. Ia merasa punya budi baik yang harus dibalas oleh si empunya jabatan. Tentu saja maksudnya pak ‘Caleg’, ingin Maulana Habib Lutfi mengeluarkan surat sakti yang ditujukan pada si Bupati yang dianggap punya ‘hutang jasa’ kepada si Caleg. Sejenak Abah, -begitu murid beliau memanggil Maulana Habib Lutfi-, menghela nafas. Kemudian dengan halus menyampaikan, bahwa pola hutang budi dalam kasus seperti itu tidak dibenarkan oleh undang-undang dan hukum Negara. Anggaran itu haruslah digunakan sebagaimana mestinya. Dan tidak dibenarkan siapapun mengklaim punya hak barang sepeserpun darinya. Dan jika itu dilakukan, perbuatan itu melawan hukum.
Sejurus Caleg dan Habib Muda mengangguk, tampak keduanya sedang mereka-reka jawaban yang mereka anggap logis. ‘Tapi bupati itu sudah jangji Bah’, Habib muda itu membela. ‘Ia jangji itu apabila dari uang dia pribadi tidak masalah, tapi kalau dari uang Negara jelas tidak bisa. ‘Sudahlah jangan terlalu menggantungkan harapan terlalu tinggi pada orang’. Terpaksa Habib menasehati. Memang bukan kebiasaan Abah Lutfi mencecar tamunya dengan ‘ceramah atau bertitah’. Biasanya tamunya diajak ngalor ngidul cerita ini-itu tanpa merasa digurui. Setelah keduanya agak tenang,
Abah mengatakan, ‘jangan ta’aluk (menggantungkan hati) terhadap dunia. Allah Swt membuat langit tanpa tiang, surga tanpa desain. Jadi caleg ya maju saja, tapi jangan mengaitkan hati pada uang. Ta’aluk-lah kepada Allah, bergantunglah kepada Allah. Berdoa’ ‘ya Allah jadikan saya dewan, paringi kelancaran, kulo pasrah bongkokan kalih panjengan, beri saya kelancaran, saya berserah diri padaMu ya Allah. Insya Allah jadi. ‘Saya punya dua murid, yang satu menjadi calon lurah, yang satu jadi calon bupati. Dua-duanya tidak punya uang. Yang calon lurah ini, buat makan sehari-hari saja sulitnya minta ampun (nibo tangi). Dia hanya bisa menyuguhi teh untuk tamunya yang datang sebelum pemilihan. Alhamdillah keduanya jadi’. Pungkas Abah Habib Lutfi. (Tsi)


Simak di: http://www.sarkub.com/2014/teladan-caleg-calon-legislatif-dari-pekalongan/#ixzz2zISBWQfZ
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

0 komentar:

Posting Komentar